Dua lelaki ini menatapku hangat. Lekaki
berjaket merah dan lelaki bertopi biru. Mereka utarakan cinta di waktu berbeda.
Tak ada sepatah kata pun keluar sebagai jawaban dari bibir keringku ini.
Dingin. Disini sangat dingin, bahkan aku tak tau dimana ini. Kami berempat -dengan
seorang gadis, sahabatku- menaiki sebuah bus kosong. Lelaki berjaket merah itu
duduk paling depan, dan lelaki bertopi biru ini memilih duduk 2 bangku di
belakangnya. Aku dan sahabatku hanya terpaku, tak tau harus memilih duduk
dengan siapa. Aku tentunya tak ingin menimbulkan salah paham diantara kedua
lelaki ini, dan sahabatku sangat mengerti itu. Dengan penuh inisiatif,
sahabatku duduk di bangku terdekat, di sebelah lelaki bertopi biru. Yang
artinya aku akan duduk di depan bersama si jaket merah.
Sunyi, sangat sunyi, bahkan terlalu
sunyi. Tak ada satu pun yang berbicara, sang supir di balik kemudi pun hanya
membisu sambil menunggu penumpang lain masuk. Tak ada kendaraan lain disini,
tak tampak siapapun.
Aku melirik ke arah lelaki berjaket
merah di sebelahku ini, tak ku ingat siapa namanya. Namun rasanya kamu begitu
dekat, begitu akrab. Dia sangat tampan dengan kulit putih dan tubuh tingginya,
senyumnya amat mempesona, jarinya lentik dan nampak begitu halus. Matanya
sipitnya tajam namun menenangkan hati. Ah, aku tak mampu menahan senyum jika di
dekatnya. Lalu aku membalikkan badan sesaat, mengamati lelaki bertopi biru di
sebelah sahabatku. Rasanya kami juga begitu dekat, namun lagi-lagi aku tak
mampu mengingat namanya. Tak lama, sahabatku menghampiri, berkata ingin duduk
disini sebentar. Tentu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya sekedar
saling menatap, lalu memahami apa yang dimaksud.
Aku berjalan ke belakang dan
tersenyum pada lelaki topi biru itu. Aku duduk sambil menatapnya, terasa nyaman
duduk disini. Tapi, entah kenapa hati ini merasa ingin kembali ke depan. Mataku
terus saja memandangi si jaket merah. Hingga lelaki topi biru menggenggam
tanganku. Dia terlihat manis dengan topi itu. Kulitnya yang sedikit gelap dan
matanya yang bulat mampu membuatku terpana sesaat. Dadanya begitu bidang,
urat-urat yang timbul di tangannya membuatnya terlihat gagah. Dibanding si
jaket merah, dia tampak lebih nakal. Namun jauh dalam hatiku, aku tau dia
sangat tulus.
Tiba-tiba riuh terdengar. Segerombolan
orang memasuki bus hingga tampak begitu sesak. Mereka berebutan kursi. Sahabatku
menoleh ke arahku, aku mengerti, mereka akan di usir. Sahabatku terus
menatapku, meminta bertukar tempat kembali, ia tak kan mampu merpertahankan
kursinya, ia terlalu lembut untuk menolak orang-orang rusuh ini. Entah perasaan
apa ini, yang aku tau, rasanya sungguh bahagia dan tenang bisa duduk disini
lagi, di sebelah si jaket merah.
Semua kursi telah terisi penuh,
hening seketika. Bus melaju perlahan tak tau kemana tujuannya. Aku dan si jaket
merah hanya menatap lurus ke arah jalan. Sepi. Sunyi. Semakin dingin, aku merapatkan
kedua tanganku di depan dada. Lalu lelaki ini meraih tangan kiriku,
menghangatkannya. Ah, seakan seluruh dingin ini sirna. Aku terlelap di bahunya.
Saat aku membuka mata, aku berada di
tengah sebuah gedung bersama si jaket merah, topi biru, dan sahabatku. Gedung
ini seperti sebuah pusat perbelanjaan. Ramai. Toko-toko baju berjajar rapi.
Kami berkeliling tanpa arah sampai akhirnya terpencar. Setelah itu, aku tak
ingat apa-apa. Yang aku ingat hanya aku tersesat dan bertemu lagi dengan si
jaket merah. Kami menghabiskan waktu bersama, lalu aku jatuh cinta.
***
Alarm di handphoneku berdering keras,
jam 5 pagi. Aku menoleh ke samping tempat tidur, pacarku masih terlelap. Ah,
hanya mimpi. Terasa begitu nyata, membuatku sulit untuk tidur kembali. Aku
berusaha keras mengingat nama kedua lelaki itu, mengingat percakapan kami, tapi
yang teringat hanya kesunyian. Bahkan aku tak mampu mereka ulang wajah mereka.
Semua hanya bayangan semu. Mengecewakan, batinku.
Tapi hati ini terasa kosong. Seakan
kehilangan sesuatu yang berharga. Aku rindu mereka. Padahal mereka tak pernah
ada dalam dunia nyataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar