Rabu, 18 Maret 2015

Dear Lil' Baby (1)

Hai calon anak-anak kesayangan ibu :)

Di umur ibu yang udah menuju angka 22 ini , nyatanya ibu sama sekali belum ngelakuin apa-apa untuk bisa milikin kalian . Padahal , SMA dulu niatnya umur 20 aja ibu harus udah bisa milikin salah satu dari kalian hihi Hidup tak semudah nonton drama korea , sayangku~

Jangankan progress untuk milikin kalian , ancang-ancang buat mengubah status lajang di KTP pun keliatan nya masih cuma dalam hayalan aja . Bukan karena ibu ga pengen cepet-cepet meluk kalian , denger suara manja kalian , atau pun liat mata sendu kalian . Tapi ya inilah ibu . Belum ada calon bapak yang siap minang ibu *ceila* haha

Kalian di surga doain yang terbaik buat kita semua ya cinta :) Semoga kelak kita di pertemukan dengan perasaan suka cita .

Peluk cium dari ibu xoxo

Selasa, 10 Februari 2015

Apakah ini cinta ?

Kamu pernah jatuhcinta ? Kamu tau cinta itu apa ? Selama ini ku pikir aku telah berulang kali jatuhcinta. Nyatanya mungkin itu bukan cinta . Iya , bukan cinta , karena orang bilang cinta itu akan merelakan segalanya demi yang dicinta . Selama ini aku belum merelakan apapun , sampai akhirnya muncul lelaki ini .

Dari sekian pria yang singgah lalu pergi dari hatiku , yang sempat menyapa lalu berlalu begitu saja , yang sempat menetap lalu berlari menjauh , kenapa dia ? Kenapa dia yang dalam waktu singkatnya mampu menaklukkan ku ? Kenapa dia yang dengan segala keangkuhannya mampu melembutkanku ? Sehebat apa dia ? Sejantan apa dia ? Setulus apa dia ? Sebesar apa cintanya ? Aku tak tau , dan mungkin memang tak akan pernah tau . Siapa yang bisa membaca hati orang lain ? Tak ada , kurasa .

Apakah ini benar cinta ? Mungkin saja ini hanya rasa semu yang sama seperti sebelumnya . Mungkin saja ini hanya ilusi semata yang sama seperti yang masalalu ku sempat torehkan . Bisa ku akui , ribuan , jutaan bahkan mungkin kata cinta pernah terlontar begitu saja dari bibirku . Tapi apakah itu benar-benar cinta ? Berulang kali ku katakan 'aku pikir kamu cinta pertama aku' , tapi cinta pertama seharusnya tak terjadi berulang kali kan ? Baru ku sadari , aku hanya pembual . Sama seperti mereka .

Menggunakan cinta sebagai tameng atas segala luka . Menjadikan cinta sebagai borgol pengikat yang tak mudah lepas . Hina , iya , aku hina , sama dengan mereka , mungkin juga sama dengan kalian . Apakah kalian yakin yang kalian rasakan selama ini cinta ? Apakah memang sudah takdirkan cinta akan membawa luka ? Apakah memang sudah garisnya ketika 2 insan saling jatuhcinta , merpati lain akan ada yang merintih menahan perih ? Aku masih tak mengerti .

Lagi-lagi bualan tentang cinta pertama keluar dari mulutku . Lelaki ini yang kutemukan dalam pelarianku , dalam dunia kelabuku , dengan cepatnya menapaki dunia nyataku , merenggut segalanya . Oh , tidak , bukan dia yang merenggutnya , aku yang melepaskan segalanya . Iya , segalanya . Hanya untuk dia ? Pantaskah ? Sebandingkah dia dengan segala yang telah ku lepas ? Dalam emosiku , dengan lantang ku teriakkan 'YA' ! Hingga waktu berlalu , 660 hari kebersamaan kami . Rasa ini jelas jauh berbeda dari hari saat ikatan ini kami buat .

Aku mulai merindukan segala yang telah ku lepaskan . Aku mulai meragukan cinta yang selama ini ku banggakan . Ku harap cinta selalu berakhir indah seperti kisah dongeng . Tapi kalian tahu kan , tak ada cinta yang akan berakhir indah , Setiap pertemuan berujung pada luka .

Setelah semua yang telah ku lepaskan , aku mulai mencari topengku kembali . Aku harus seperti dulu lagi , berpura-pura baik-baik saja . Berbohong lagi ? Pada siapa ? Pada dia yang selalu ucapkan cinta setiap perpisahan di depan mata ? Tidak , pada dunia , pada diriku sendiri . Bersikap acuh saat hati merindu . Pergi menjauh saat kaki ingin menetap . Dan tertawa lepas saat hati meringis mengikis sepi . Bahagiakah ? Ha ha , tampaknya bahagia hanya legenda belaka :)

Keraguanku nyaris tak tertahan . Akankah semua yang sirna akan kembali dengan indahnya ? Akankah semua yang telah lepas akan merapat lagi dengan damai nya ? Akankah semua airmata akan terganti dengan tawa yang dia ciptakan ?

Aku semakin tak mengerti cinta . Apakah ini cinta , ketika dengan semua sikap buruk nya , tingkah bajingan nya , hati dingin nya , aku masih meneteskan airmata melihat sepi dalam hatinya ? Apakah ini cinta , ketika dengan sikap raja nya , dia menyebutku pesuruh bagi yang lain , dan aku hanya diam bertahan disisinya ? Apakah ini cinta , ketika aku berharap dia mati , dan masih menangis membayangkan kematian nya ? Apakah ini cinta , ketika aku menjadi gila tiap kali perpisahan di depan mata kami ? Apakah ini cinta atau hanya ketergantungan belaka ? Apakah ini cinta atau hanya rasa iba belaka ? Apakah ini cinta atau lagi-lagi hanya kisah drama yang kami ciptakan sendiri ? 

Sabtu, 17 Januari 2015

Ingatan Semu

Dua lelaki ini menatapku hangat. Lekaki berjaket merah dan lelaki bertopi biru. Mereka utarakan cinta di waktu berbeda. Tak ada sepatah kata pun keluar sebagai jawaban dari bibir keringku ini. Dingin. Disini sangat dingin, bahkan aku tak tau dimana ini. Kami berempat -dengan seorang gadis, sahabatku- menaiki sebuah bus kosong. Lelaki berjaket merah itu duduk paling depan, dan lelaki bertopi biru ini memilih duduk 2 bangku di belakangnya. Aku dan sahabatku hanya terpaku, tak tau harus memilih duduk dengan siapa. Aku tentunya tak ingin menimbulkan salah paham diantara kedua lelaki ini, dan sahabatku sangat mengerti itu. Dengan penuh inisiatif, sahabatku duduk di bangku terdekat, di sebelah lelaki bertopi biru. Yang artinya aku akan duduk di depan bersama si jaket merah.

Sunyi, sangat sunyi, bahkan terlalu sunyi. Tak ada satu pun yang berbicara, sang supir di balik kemudi pun hanya membisu sambil menunggu penumpang lain masuk. Tak ada kendaraan lain disini, tak tampak siapapun.

Aku melirik ke arah lelaki berjaket merah di sebelahku ini, tak ku ingat siapa namanya. Namun rasanya kamu begitu dekat, begitu akrab. Dia sangat tampan dengan kulit putih dan tubuh tingginya, senyumnya amat mempesona, jarinya lentik dan nampak begitu halus. Matanya sipitnya tajam namun menenangkan hati. Ah, aku tak mampu menahan senyum jika di dekatnya. Lalu aku membalikkan badan sesaat, mengamati lelaki bertopi biru di sebelah sahabatku. Rasanya kami juga begitu dekat, namun lagi-lagi aku tak mampu mengingat namanya. Tak lama, sahabatku menghampiri, berkata ingin duduk disini sebentar. Tentu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya sekedar saling menatap, lalu memahami apa yang dimaksud.

Aku berjalan ke belakang dan tersenyum pada lelaki topi biru itu. Aku duduk sambil menatapnya, terasa nyaman duduk disini. Tapi, entah kenapa hati ini merasa ingin kembali ke depan. Mataku terus saja memandangi si jaket merah. Hingga lelaki topi biru menggenggam tanganku. Dia terlihat manis dengan topi itu. Kulitnya yang sedikit gelap dan matanya yang bulat mampu membuatku terpana sesaat. Dadanya begitu bidang, urat-urat yang timbul di tangannya membuatnya terlihat gagah. Dibanding si jaket merah, dia tampak lebih nakal. Namun jauh dalam hatiku, aku tau dia sangat tulus.

Tiba-tiba riuh terdengar. Segerombolan orang memasuki bus hingga tampak begitu sesak. Mereka berebutan kursi. Sahabatku menoleh ke arahku, aku mengerti, mereka akan di usir. Sahabatku terus menatapku, meminta bertukar tempat kembali, ia tak kan mampu merpertahankan kursinya, ia terlalu lembut untuk menolak orang-orang rusuh ini. Entah perasaan apa ini, yang aku tau, rasanya sungguh bahagia dan tenang bisa duduk disini lagi, di sebelah si jaket merah.

Semua kursi telah terisi penuh, hening seketika. Bus melaju perlahan tak tau kemana tujuannya. Aku dan si jaket merah hanya menatap lurus ke arah jalan. Sepi. Sunyi. Semakin dingin, aku merapatkan kedua tanganku di depan dada. Lalu lelaki ini meraih tangan kiriku, menghangatkannya. Ah, seakan seluruh dingin ini sirna. Aku terlelap di bahunya.

Saat aku membuka mata, aku berada di tengah sebuah gedung bersama si jaket merah, topi biru, dan sahabatku. Gedung ini seperti sebuah pusat perbelanjaan. Ramai. Toko-toko baju berjajar rapi. Kami berkeliling tanpa arah sampai akhirnya terpencar. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa. Yang aku ingat hanya aku tersesat dan bertemu lagi dengan si jaket merah. Kami menghabiskan waktu bersama, lalu aku jatuh cinta.

***

Alarm di handphoneku berdering keras, jam 5 pagi. Aku menoleh ke samping tempat tidur, pacarku masih terlelap. Ah, hanya mimpi. Terasa begitu nyata, membuatku sulit untuk tidur kembali. Aku berusaha keras mengingat nama kedua lelaki itu, mengingat percakapan kami, tapi yang teringat hanya kesunyian. Bahkan aku tak mampu mereka ulang wajah mereka. Semua hanya bayangan semu. Mengecewakan, batinku.


Tapi hati ini terasa kosong. Seakan kehilangan sesuatu yang berharga. Aku rindu mereka. Padahal mereka tak pernah ada dalam dunia nyataku.

Ketika Rindu Tak Mampu Berkata

Malam ini cerah, jutaan bintang nampak mempesona hiasi langit dengan kilaunya. Teringat kisah bertahun lalu, saat usiaku masih belasan tahun. Saat hati tak mampu berlabuh dengan pasti. Saat cinta datang dan pergi sesuka hati. Saat aku dengan mudahnya jatuh dalam bualan semu menyakitkan itu.

Jika aku merindukanmu, aku hanya harus menatap bintang paling terang pertama yang kulihat, itu yang selalu kau ucap. Membayangkan kita sedang menatap langit yang sama, merasakan rindu yang sama. Kata-katamu bagai hipnotis yang tak mampu lekang oleh waktu. Bertahun berlalu, tak ingin aku mengingatnya lagi. Tapi entah, setiap kali mata ini tak sengaja menatap langit, semua bayang semu masalalu itu hadir tanpa ku undang. Sama seperti malam ini.

Dulu terasa begitu indah, sampai semua luka itu akhirnya tak terhapus hingga kini. Hanya sekedar bercerita, mengagumi, dan akhirnya menyimpan rindu -jika tak layak kusebut cinta- lewat media sosial dan telepon genggam. Dunia maya. Dunia yang menjebakku dengan rasa yang hingga kini tak ku mengerti harus disebut apa.

Kelas 2 SMP, awal perkenalan kita. Masihkah kau ingat saat itu? Lewat mIRC kita berkenalan, lalu saling bertukar friendster -jejaring sosial yang populer kala itu- dan nomor handphone. Sekedar mengisi waktu dan menghilangkan jemu, kita ber-sms-ria. Rindukah kamu akan masa itu? Aku rindu, teramat rindu. Hingga rindu ini mengikis hatiku.

Aku yang tak pernah ingin orang lain mengetahui tangisku, membiarkanmu mendengar isakanku. Isakan piluku yang kehilangan teman-temanku. Isakan piluku yang rindu teman masakecilku. Isakan piluku yang putus asa atas semua bully-an yang kuterima. Isakan piluku yang tak mampu lagi menahan sepi seorang diri.

Tak taukah kamu, kamulah yang pertama mendengar tangis manja penuh rasa putus asa ku? Lalu kamu, dengan semua keramahan dalam nada bicaramu seakan merangkulku dalam hayalku, menenangkanku, menepis semua gundahku. Aku tak pernah merasa setenang itu sebelumnya. Dengan gamblang kuceritakan berbagai kisah piluku. Ku tumpahkan airmataku. Ku ungkapkan asa di hatiku.

Hari terus berganti minggu. Minggu berlalu menjadi bulan. Entah berapa janji kita ikrarkan, namun masih tak ada ikatan pasti antara kita. Tak pernah pula ada perjumpaan nyata. Saat itu aku belum mendengar skype, kamu pun kurasa begitu. Internet masih begitu mahal. Bertukar foto masih dengan MMS atau unggahan melalui friendster.

Lalu tibalah masa-masa UN mu. Perbedaan satu tahun antara kita membuatku belum mengerti sesaknya menghadapi UN kala itu. Aku hanya sibuk mengiyakanmu tiap kali kamu mengabaikanku dengan alasan sibuk. Disela perbedaan satu jam antara kita, kita masih mencoba saling menyempatkan diri untuk saling membangunkan walau hanya lewat dering telepon. Kadang aku sengaja tak tidur karena takut lupa waktu. Mendengar saut manjamu kala bangun tidur, memudarkan rasa kantukku seketika, aku tak ingin telepon ini ditutup. Aku berharap waktu mampu berjalan sedikit lebih lambat.

Sayangnya waktu terus berjalan tanpa hiraukan doaku. Terasa begitu cepat. Kamu tiba-tiba saja sudah menduduki bangku SMA dan harus menghadapi ospek. Kamu terus saja berkilah sibuk tiap kali aku mencoba menghubungi. Kita mulai jarang bersenda gurau lagi. Aku mulai rindu. Kala itu aku benar-benar tak mengerti bagaimana sibuknya ospek SMA. Sesulit itukah ospek SMA? Selelah itukah menjalani ospek SMA hingga sekedar membalas SMS pun tak mampu?

Kamu tau kan firasatku jarang salah? Kamu tau bagaimana rasanya saat semua firasat buruk itu terbukti? Kamu punya pacar baru. Aku tau pada akhirnya kita sepakat hanya menjadi sekedar kakak dan adik. Tapi lupakah kamu akan semua janji yang kita ikrarkan? Akan tetap bersama walau saling punya pacar? Akan tetap memilihku jika kelak pacarmu membenciku? Nyatanya semua itu hanya bualan belaka.

Kamu dengahn pasti menghilang dari hari-hariku, dan aku memilih berjalan pelan meninggalkan semua kenangan itu. Aku benci, aku sungguh membencimu dan kekasihmu kala itu. Aku benci mengakui betapa aku merindukanmu. Aku benci menyadari betapa sakit hati ini tiap kali bintang tunjukkan kilaunya. Aku benci ketika aku harus menangis karena rinduku yang kerap memuncak untukmu. Aku benci karena entah sekuat apapun usahaku, namamu tak pernah bisa ku lupa, bahkan hingga hari ini di usia 20ku.

SMS terakhir yang kuterima, saat kamu menerima paketku. Paket berisi surat-surat rinduku untukmu. Sejak itu, tak ada lagi kabar antara kita. Kadang aku masih menulis surat untukmu, tapi tentu tak akan bisa ku kirimkan. Buku berisi alamat rumahmu sudah entah berada dimana. Mungkin hilang tersapu banjir saat aku SMA. Surat-surat itu menumpuk terabaikan lalu kulupakan. Ada beberapa tersimpan rapi dalam diary lamaku, adapula yang sengaja kubuang, sisanya mungkin menjadi tumpukan sampah bersama buku bekas di rumahku.

Beberapa waktu yang lalu, aku sempat mencari kabarmu. Kamu tau kan zaman sudah terlalu canggih saat ini? Aku menemukan facebookmu. Kepo sebentar, lalu hati ini kembali tersayat teringat cerita lama. Malu aku walau hanya sekedar meng-add akunmu. Ku abaikan akunmu, ku urungkan niat untuk menjalin pertemanan di facebook denganmu. Aku masih ingat, saat itu foto profilmu sedang duduk gagah di atas ninja merahmu, tampan seperti dalam ingatanku.

Beberapa bulan setelahnya, aku mencoba mencari akun twittermu. Kutemukan hanya dalam sekejap. Namamu muncul di baris paling pertama dengan foto berlatar pantai. Ah, aku rindu ceritamu akan Pantai Amal yang dulu sering kau datangi semasa SMP. Rindu ini kembali bergejolak. Jantungku berdebar kencang seakan ingin meloncat keluar. Aku menangis lagi, entah bahagia melihatmu bahagia saat ini, atau rindu akan cerita kita dulu. Wajahmu tak berubah, masih sama seperti terakhir aku mengingatmu.

Dilema kembali melanda hatiku. Bolehkah aku sekedar menyapa? Tapi aku malu untuk mengungkit cerita lama. Aku pun takut terluka jika nanti ternyata kamu tak mengingatku. Kulihat kamu sudah punya pacar lagi, bukan pacarmu yang dulu menyudahi cerita kita. Kembali kuurungkan niat, kututup akunmu.

Rinduku terus saja menyayat hati, tak mampu terucap. Ku tulis kembali surat untukmu, kali ini lewat blog ku. Kutumpahkan semua dilema dan airmata yang masih tersisa, berharap kamu mungkin membacanya. Berharap kamu mungkin sadar kalau itu tentangmu. Airmata menyiratkan semua luka, sama seperti hari ini saat aku menulis ini sambil mengingat kisah kita dulu.
Hai, Bahtiar Rizki, jika mungkin kamu membaca ini atau semua tulisanku tentangmu nanti, ku harap kamu akan mengerti. Anggaplah semua tulisan itu surat tak terkirim dariku. Anggap setiap kata yang tertulis adalah setiap rindu yang tak mampu ku utarakan. Rindu yang begitu dalam dan tak berkesudahan hingga kini.

Tapi, Bahtiar Rizki, perlu kamu tau, aku tak lagi marah. Aku pikir aku sudah cukup dewasa sekarang. Aku sudah melewati banyak hari dimana aku mulai mengerti segalanya. Aku sudah melewati hari dimana aku seakan berada di posisimu kala itu, hari dimana dengan enggan harus melupakan janji karena menemukan seseorang yang lebih berarti, atau lebih nyata bisa dibilang. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu membelai lembut pipi kita dengan tangannya, bukan dengan suara ramahnya. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu mendekap kita dalam peluknya, bukan dalam saut manjanya. Hari dimana kita menemukan seseorang yang mampu kita tatap matanya, bukan sekedar menatap layar. Aku mengerti pilihanmu, Bahtiar Rizki.


Dan bila kamu tak mampu mengingatku, anggap saja namaku Rin Dessyrinata J

Senin, 15 Desember 2014

menggila

bikin ginian buat event dari TOUCH . view please view :v


150114

15 Desember 2014
10:28

Hari dimana aku memilih untuk melangkah pergi . Hari ketika aku akhirnya mengambil keputusan sulit itu , menjadi hari dimana segalanya benar-benar berubah . Tak pernah sama lagi . Duniaku , tak lagi seperti dulu . Sejak hari itu , tak ada lagi ketentraman seperti sebelumnya . Kenyamanan nampaknya hanya menjadi mitos dan sejarah belaka . 

Khawatir , curiga , takut , bimbang , semua bercampur jadi satu dalam hati dan pikiranku . Tak ada lagi tawa yang sesungguhnya . Tak tampak lagi arti pertemanan yang sebenarnya . Semua nampak sama , tak lagi berwarna hanya semakin kelabu tiap harinya .

Aku ingin berlari ke depan , namun untuk melangkah maju saja harus terseok . Aku masih terjebak dengan hingar bingar masalalu yang tak jarang kembali mengalirkan embunku . Jika saja saat itu bertahan tak begitu menyakitkan , aku tentu tak kan pergi sejauh ini . Kau tau , aku bukan orang yang senang meninggalkan tempatku . Tapi kini , tak hanya meninggalkan , aku bahkan harus melupakan .

Mencoba mencari diri yang baru . Mencoba melangkah memasuki dunia baru . Semua tak sama seperti dulu . Aku terlalu nyaman dengan keberadaan ku di masa lalu . Aku mencintai duniaku dulu , lebih dari yang mereka tau . Namun tentu tak ada jalan untuk kembali .

Aku tak lagi terjebak di sudut ruang hatiku , aku hanya mematung di tengah ruang hampa . Tak ada lagi rasa memiliki seperti dulu . Tak ada lagi cinta yang berbunga . Tak ada rasa ingin menggenggam kuat . Tak ada rasa takut melepaskan .

5 September 2011 selalu menjadi hari bersejarah bagiku . Langkah pertamaku memasuki dunia baru , bersama seseorang yang baru . Aku masih ingat betapa bahagianya aku saat itu . Dunia itu terasa begitu menakjubkan . Beberapa bulan yang lalu , aku memasuki dunia yang tak jauh berbeda namun rasanya sungguh tak sama . Tak ada degupan dalam jantungku . Tak ada senyum penuh kegembiraan . Semua sirna bersama jejak ku yang tertinggal di dunia pertama ku .

Senin, 18 Agustus 2014

teringat 13

Hai kamu , masalalu yang tak hentinya menyapa . Aku kini tak anggapmu istimewa seperti dulu . Bahkan jika aku tak punya hati , aku ingin berkata bahwa aku tak berharap untuk mendengar lagi kabar tentangmu .

Kamu dulu pernah memiliki ku . Tidak sebentar aku bertahan disampingmu , 3 tahun . Tentu seharusnya kamu tau dan mengerti dengan pasti bagaimana aku . Aku tak berubah , aku masih sama seperti dulu . Hanya saja apa yang ada di antara kamu dan aku sudah lama tak lagi sama , 3 tahun .

Aku pikir kamu akan mengerti , bukan aku yang begitu angkuh . Namun ada seseorang yang harus ku lindungi hatinya . Ada seseorang yang kini ku prioritaskan kebahagiaan dan ketentraman hatinya . Dan kamu bisa menebak siapa dia . Dulu , mungkin kamu yang harus berkeras menahan egoku untuk bercengkrama dengan teman lelaki ku . Tapi kini aku sudah lebih dewasa dan cukup mengerti untuk membatasi diri . Aku tak ingin ada prasangka yang muncul karena kedekatan yang tak ku harapkan . Aku tak ingin melukai dan merapuhkan rasa percayamya untuk yang kedua kali .

Aku harap kamu mengerti dan mampu memilih sikap yang tak akan melukai siapa pun . Aku percaya kamu tak ada niat mendekatiku lagi seperti dulu . Aku pun tak memiliki niat untuk lebih dekat lagi denganmu . Tapi tak ada yang tau apa yang kelak dia pikirkan . Lebih baik kita semakin menjauh dan menjadi orang asing daripada aku harus kehilangan dia untuk yang kesekian kali .

Menjauhlah masalalu ku . Keramahanku hanya sekedar sopan santun tak bermakna apapun .